Rabu, 12 Januari 2011

Hadits Riba

Hadist Riba

Rabu, 15/12/2010 16:13 WIB | email | print | share

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz, saya ingin tahu lebih jelas tentang hadist berikut ini :

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

Bisa minta tolong dijelaskan arti secara menyeluruh dari hadist tersebut. Pada zaman sekarang siapa saja yang termasuk dalam pemakan riba, pemberi riba, penulis, dan saksinya?

Apa yang harus saya lakukan apabila saya termasuk dalam salah satunya? Pekerja yang mendapatkan gaji dari riba, apakah hukuman bagi dia? Sangat berterima kasih sebelumnya.

add

Jawaban

Wa'alaikumussalam Wr Wb

Riba berarti ziyadah (tambahan). Maksudnya tambahan atas modal, sedikit maupun banyak, sebagaimana dsebutkan didalam firman Allah swt :

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] : 279)

Riba ini diharamkan oleh semua agama samawi, karena dianggap sesuatu yang membahayakan menurut agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Bahkan islam memandangnya sebagai salah satu dosa besar yang dapat membinasakan seseorang.

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan". Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu'min yang suci berbuat zina"

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama."

Pemilik kitab “Aunul Ma’bud” mengatakan bahwa makna ‘pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun dirinya tidak memakannya. Sesungguhnya pengkhususan dengan kata-kata makan karena ia adalah jenis pemanfaatan yang paling besar.

Adapun makna orang yang menyuruh makan riba adalah yang orang yang memberikannya kepada orang yang mengambilnya. Sedangkan makna saksi dan penulis riba, menurut Imam Nawawi bahwa didalamnya terdapat ketegasan pengharaman penulisan antara dua orang yang bertransaksi riba dan penyaksian terhadap keduanya dan juga pengharaman terhadap pertolongan atau bantuan kepada kebatilan. (Aunul Ma’bud juz VII hal 2893)

Riba ini ada dua macam :

  1. Riba Nasi’ah yaitu pertambahan bersyarat yang diterima oleh pemberi utang dari orang dari orang yang berutang karena penangguhan atas pembayaran. Jenis riba ini diharamkan menurut al Qur’an, Sunnah dan Ijma ulama.
  2. Riba Fadhal yaitu jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan yang disertai tambahan. Jenis ini diharamkan karena termasuk perantara riba nasi’ah.

Imam Bukhori meriwayatkan dari Umar bin Khattab mengabarkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jual beli emas dengan emas adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), beras dengan beras adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), kurma dengan kurma adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), gandum dengan gandum adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan) ".

Terhadap orang yang melakukan praktek-praktek riba diatas maka diwajibkan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah swt dan menghentikan segala bentuk yang termasuk didalam praktek ribawi. Diantara keharusan seorang yang bertaubat dari perbuatan riba adalah mencukupkan dirinya dengan modal pokok hartanya saja dan tidak mengambil tambahan (riba) darinya, sebagaimana disebutkan didalam firman Allah swt :

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] : 276)

Begitu juga terhadap seorang pekerja yang mendapatkan gaji dari riba atau bekerja di Bank Konvensional maka hendaklah dirinya mencari pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal. Akan tetapi jika dirinya melihat bahwa bekerja di tempat itu adalah sesuatu yang darurat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarganya maka dibolehkan baginya menerima gaji itu dengan hati yang tidak rela sambil tetap berusaha mencari alternatif pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal.

Syeikh Yusuf al Qaradhawi di dalam bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” ketika ditanya tentang hukum bekerja di Bank Konvensional, beliau menjawab,”Jangan pula dilupakan adanya kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah sampai tingkat darurat. Kondisi inilah yang menjadikan saudara penanya untuk menerima —tetap bekerja di bank— sebagai sarana mencari kehidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah swt :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya : “.....tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2] : 173)

Wallahu A’lam

Hukum Suap Menyuap Penerimaan Pegawai

Suap Menyuap
Kamis, 23/12/2010 05:45 WIB | email | print | share

Assalamualaykum wr. wb., ustadz..

Saya mau tanya, saya pernah ingin menjadi Tentara Nasional Indonesi, namun sekarang saya mengurungkan niat saya karena di situ ada perbuatan suap menyuap dalam proses pendaftaranya. Padahal sudah jelas di SPANDUK nya "PENDAFTARAN TNI TIDAK DIPUNGUT BIAYA".

Karena ustad kalau misal tidak pakai uang tidak bakal bisa jadi tentara kata orang-orang, meskipun hasil tesnya bagus !

Apakah benar ustadz kalau uang gaji yang diperoleh dari perbuatan suap menyuap sampai kapan pun haram ?

Apakah tindakan saya ini benar ustadz ? padahal saya pernah bernazar kalau saya menjadi tentara akan menyembelih kambing !

Tri S
Jawaban

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara Tri yang dimuliakan Allah SWT

Pertama kali saya ingin mengingatkan bahwa suap (risywah) yang diharamkan adalah yang diberikan oleh seseorang untuk menghilangkan suatu hak atau mengukuhkan kebatilan. Adapun suap yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan haknya atau mencegah kezhaliman atau kemudaharatan maka ia dibolehkan menurut jumhur ulama dan dosa darinya ditimpakan kepada orang yang menerima suap bukan kepada orang yang memberikan suap.

Terdapat atsar bahwa Ibnu Mas’ud ra ketika di Habasyah pernah memberikan suap dengan dua dinar untuk mendapatkan haknya dan mengatakan, ”Sesungguhnya dosa bukan bagi si pemberi akan tetapi bagi si penerima.”

Sedangkan tentang gaji, apakah gaji itu selamanya haram bagi si pemberi suap atau apakah suap itu merupakan sesuatu yang terpisah dan dosanya tidak berpengaruh terhadap gajinya? Maka jawabannya adalah jika orang itu adalah orang yang berhak (tepat) terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya itu maka gaji yang didapatnya adalah halal karena gaji itu merupakan imbalan bagi pekerjaannya.

Sebaliknya jika si pekerjanya itu tidak professional terhadap pekerjaannya atau tidak menunaikannya dengan benar maka dirinya tidaklah berhak mendapatkan imbalan dikarenakan ia tidak melaksanakan pekerjaannya itu.

Maka tidaklah ada keterkaitannya antara kehalalan gaji dengan suap. (Markaz al Fatwa No. 136730)

Dengan demikian jika anda adalah orang yang berhak menjadi tentara artinya nilai-nilai hasil tes anda memenuhi persyaratan untuk menjadi tentara dan meyakini bahwa anda berhak atas satu tempat di situ namun anda tidak bisa mendapatkan hak anda itu kecuali jika anda membayarkan sejumlah uang suap maka dibolehkan bagi anda memberikan suap itu dan dosanya ditimpakan kepada yang menerimanya.

Akan tetapi jika anda tidak termasuk orang yang berhak menjadi tentara karena nilai-nilai tes anda tidak memenuhi persyaratan namun anda bisa lulus jika memberikan sejumlah uang suap maka pemberian tersebut diharamkan dan dosanya ditimpakan kepada anda sebagai pemberi dan juga si penerima.

Adapun tentang nazar untuk menyembelih kambing jika anda lulus menjadi tentara maka hal itu haruslah ditunaikan jika anda lulus menjadi tentara, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah, maka ia wajib menaati-Nya dan barangsiapa yang bernazar untuk maksiat terhadap Allah maka ia tidak boleh maksiat terhadap-Nya.” (HR. Bukhori, Ahmad)

Wallahu A’lam.

Sholat Batal Saat Berada Ditengah Jamaah Sholat

Sholat Batal Saat Berada Ditengah Jamaah Sholat
Senin, 03/01/2011 09:07 WIB | email | print | share

assalamualaikum wr. wb

Ketika kita sedang sholat berjamaah dan berada di shaff paling depan, lalu kita tiba2 kentut sehingga membatalkan sholat. apa yg harus kita lakukan? apa kita akan menerobos jamaah utk pergi ketempat wudhu, atau berdiam ditengah2 jamaah sampai jamaah selesai sholat atau kita pura2 ikut sholat aja?

lalu bgmn hukumnya jika kita menahan kentut, menahan kencing, dan menahan buang air bersar. apakah membatalkan sholat?

terimakasih.

anas
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Anas yang dimuliakan Allah swt

Buang Angin dan Melintasi Shaff Makmum

Keluar angin (kentut) membatalkan shalat orang yang tengah melaksanakannya karena diantara syarat sah shalat adalah suci dari hadats, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kalian jika berhadas hingga ia berwudhu."

Diwajibkan baginya untuk mengulang wudhunya. Dan jika dirinya sebagai makmum dalam shalat berjamaah maka tidak mengapa baginya untuk menerobos barisan makmum yang ada untuk pergi ke tempat wudhu dan mengulang wudhunya lalu kembali melaksanakan shalat. Hal itu dikarenakan tidaklah dianjurkan bagi para makmum untuk mengambil sutroh (pembatas shalatnya) dan cukuplah bagi mereka sutroh imam, sebagaimana dikatakan oleh kebanyakan ulama. (baca : Sutroh)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas dia berkata, "Aku pernah datang kepada Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam, dengan mengendarai keledai betina, ketika itu aku hampir baligh. Waktu itu Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam sedang mengimami shalat orang banyak di Mina. Lalu aku lewat di muka shaf, lalu aku turun, lalu aku mengirim pergi keledai betina tersebut untuk merumput. Kemudian aku masuk ke dalam shaf; ternyata tidak ada seorang pun yang menegurku atas tindakanku yang demikian itu."

Diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi dari Musa bin Thalhah dari Ayahnya ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan (sesuatu) semisal pelana kuda di depannya, setelah itu ia tidak perlu memperdulikan siapa yang lewat di belakangnya." Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abu Hurairah, Sahl bin Abu Hatsmah, Ibnu Umar, Sabrah bin Ma'bad Al Juhani, Abu Juhaifah dan 'Aisyah." Abu Isa berkata; "Hadits Thalhah derajatnya hasan shahih. Para ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka berkata; "Sutrah (pembatas) imam adalah sutrah untuk orang-orang yang dibelakangnya."

Hukum Menahan Buang Angin Saat Shalat

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam, bersabda 'Tidak sempurna shalat seseorang apabila makanan yang telah dihidangkan, atau apabila dia menahan buang air besar atau kecil'."

Hadits tersebut berisi larangan bagi seorang yang hendak melaksanakan shalat sementara dirinya menahan buang air kecil atau besar, termasuk didalamnya adalah menahan angin. Jika hal itu terjadi sebelum shalat dimulai maka hendaklah dia menunaikan hajatnya terlebih dahulu baru kemudian shalat agar tidak mengganggu kekhusyu’annya ketika shalat.

Apabila menahan buang air kecil, air besar atau angin terjadi ketika shalat maka hal itu tidaklah membatalkan shalatnya dan shalatnya tetaplah sah meski hal itu dimakruhkan. Didalam kitab “al Majmu’” disebutkan bahwa jumhur ulama mengatakan,”Sah shalat orang yang menahan buang air kecil dan besar.” Imam Nawawi mengatakan,”Makruh bagi seorang yang shalat sambil menahan buang air kecil, air besar, angin, dihadapan makanan atau minuman sementara dirinya menginginkan hal itu berdasarkan hadits Aisyah diatas.”

Wallahu A’lam

Selasa, 11 Januari 2011

Sholat Sunnah Dhuha Sesuai Sunnah

ssalamu'alaikum wr. wb.

Ustazd yang dirahmati Allah.

Mohon bantuan Ustazd untuk menjelaskan tentang shalat dhuha, mulai dari waktunya (dari jam berapa sampai jam berapa), jumlah rakaat dalam pelaksanaannya (apakah 2 - 2 rakaat dg dua salam atau 4 rakaat 1 salam), dan doa-doanya. Hal ini saya tanyakan karena dari beberapa buku yang saya baca ada yang mengatakan waktunya dari 08.00 - 12.00 dan ada juga 08.00 - 10.00 dan ada juga yang melaksanakan di bawah jam 08.00 setelah shalat sunah shuruq. Kemudian apakah benar ada shalat sunah shuruq itu? Karena saya baru mendengar dan meliha dalam pelaksanaannya.

Demikian, terimakasih atas jawabannya. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunianya ke pada Ustazd. Amin....!

Wasalahmu'laikum wr. wb.

Yosfiah
Jawaban

Walalaikumussalam Wr Wb

SaUdara Yosfiah yang dirahmati Allah SWT

Waktu Shalat dhuha

Telah terjadi perbedaan dikalangan fuqaha didalam batasan shalat dhuha secara umum. Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu shalat dhuha dimulai dari ketika matahari mulai meninggi hingga sedikit sebelum tergelincir selama belum masuk waktu yang dilarang.
Imam Nawawi didalam “ar Raudhah” mengatakan, "Para sahabat kami (madzhab Syafi’i) berpendapat, waktu shalat dhuha berawal dari terbit matahari dan dianjurkan agar mengakhirkannya hingga ia meninggi.”

Hal itu ditunjukkan oleh riwayat Imam Ahmad dari Abu Murrah ath Thoifi berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam, janganlah kalian lemah dari melaksanakan empat rakaat dari permulaan siangmu yang akan mencukupkanmu di akhir siangnya."

Namun al Adzra’i berpendapat bahwa apa yang dinukil itu dari para sahabatnya (madzhab Syafi’i) itu tedapat catatan, yang terkenal dari pendapat pertama mereka “yaitu pendapat jumhur” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 9730)

Dengan demikian waktu shalat dhuha dimulai kira-kira sejak maahari mulai naik kira-kira sepenggalah hingga sedikit sebelum masuknya waktu zhuhur atau sekitar 15 menit setelah waktu syuruq hingga 15 menit sebelum masuk waktu zhuhur.

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha

Adapun tentang rakaatnya maka tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha yang mengatakan sunnahnya shalat dhuha berpendapat bahwa paling sedikit rakaat shalat dhuha adalah dua rakaat.

Diriwayatkan dari Abu Dzarr bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma'ruf nahi munkar sedekah, dan semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat dhuha."

Namun terjadi perbedaan dikalangan mereka tentang maksimal rakaatnya :

Para ulama Maliki dan Hambali berpendapat bahwa maksimal rakaat shalat dhuha adalah delapan rakaat berdasarkan riwayat Ummu Hani’ bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah memasuki rumahnya pada saat penaklukan Makkah, kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wasallam shalat delapan raka'at" seraya menjelaskan, "Aku belum pernah sekalipun melihat Beliau melaksanakan shalat yang lebih ringan dari pada saat itu, namun Beliau tetap menyempurnakan ruku' dan sujudnya."

Para ulama Maliki ini juga menegaskan makruh melebihkan dari delapan rakaat jika seseorang meniatkan shalat dhuha bukan niat sunnah mutlak. Mereka juga menyebutkan bahwa yang paling moderat dari shalat dhuha adalah enam rakaat.

Sedangkan para ulama Hanafi dan Syafi’i —pendapat yang marjuh— serta Ahmad —dalam satu riwayat darinya— bahwa maksimal dari shalat dhuhah adalah dua belas rakaat, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi dan an Nasa’I dengan sanadnya yang didalamnya terdapat kelemahan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang melaksanakan shalat dhuha sebanyak dua belas rakaat maka Allah (akan) membangunkan baginya istana dari emas di surga.” Ibnu Abidin menukil dari “Syarh al Maniyah” dan menegaskan bahwa hadits lemah bisa diamalkan didalam perkara-perkara keutamaan.

Al Hashkafi dari kalangan Hanafi menukil dari ‘adz Dzakha’ir al Asyraqiyah” menyebutkan bahwa yang moderat adalah delapan rakaat dan inilah yang paling utama, berdasarkan perbuatan dan perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedangkan tentang maksimalnya hanyalah melalui perkataaan beliau shallallahu 'alaihi wasallam saja.

Adapun dikalangan para ulama Syafi’i telah terjadi perbedaan didalam berbagai ungkapan mereka tentang maksimal rakaat shalat dhuha. Imam Nawawi didalam “al Minhaj” menyebutkan bahwa maksimalnya adalah dua belas rakaat sementara dia menyalahinya didalam kitab “Syarh al Muhadzab”, dia menyebutkan dari kebanyakan ulama bahwa maksimal adalah delapan rakaat. Beliau menyebutkan juga didalam “Raudhah ath Thalibin” bahwa yang paling utama adalah delapan rakaat sedangkan maksimalnya adalah dua belas rakaat dengan mengucapkan salam di setiap dua rakaat.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 9730 – 9731)

Doa Khusus Pada Shalat Dhuha

Tidak ada doa-doa khusus pada shala dhuha. Dibolehkan bagi setiap muslim untuk berdoa dengan doa-doa yang dikehendakinya selama tidak ada dosa didalamnya dan memutuskan silaturahim baik doa-doa yang matsur dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atau doa-doa yang mudah bagi dirinya. Akan tetapi doa yang matsur lebih utama jika ia hafal. (Markaz al Fatwa No. 65406)

Shalat Isyraq

Para ulama menyamakan antara shalat isyraq dengan shalat dhuha. Meksipun ada yang sedikit membedakan diantara keduanya yaitu jika shalat itu dikerjakan diawal waktu yaitu ketika matahari mulai terangkat kira-kira sepenggalah maka ia disebut shalat isyraq sedangkan jika dikerjakan di tengah-tengah atau akhir waktu maka ia disebut shalat dhuha.

Wallahu A’lam